Blackberry Gemini udah gak jaman, kita ketemu lagi wahai teman-teman.
Kali ini, Asal-Usul akan membahas tentang sebuah fenomena di masyarakat
yang sudah cukup lama terjadi dan sangat digandrungi masyarakat. Yaitu
fenomena tentang kehadiran sebuah makanan yang entah darimana asalnya
dan bagaimana kemunculannya tetapi bisa mewabah ke mana-mana, mulai dari
menara-menara pencakar langit berhiaskan
lightning rod hingga ke pelosok-pelosok gang yang setiap mau masuk ke dalamnya harus mengucap kata permisi dulu.
Yang pasti, kue ini pas banget buat nemenin kamu di kala cuaca dingin dan hujan seperti sekarang ini.
Makanan itu bernama:
K u e T e t e
Daripada ngeri dengerin suara petir, mending ngemut ujung kue tete.
Sebenarnya, kami pada awalnya memilih untuk mengangkat kisah ini
dikarenakan kami merasa perlu adanya sebuah klarifikasi akan kejadian
yang bisa dikategorikan luar biasa ini. Sebab pertanyaan-pertanyaan
harus diiringi dengan jawaban-jawaban, dan keresahan-keresahan harus
dipertanggungjawabkan.
Masalahnya, dalam hal fenomena kue tete ini terpecah dua kubu dalam
menyikapinya. Yaitu kubu yang menilai positif kehadiran kue tete (kita
sebut
teteers), dan kubu yang menganggap bahwa kehadiran kue
tete membawa dampak negatif dalam masyarakat, khususnya bagi anak kecil
(kita sebut
anti-tete).
Para
Teteers, termasuk di dalamnya adalah kaum seniman, dan
orang-orang miskin kota. Kaum seniman menganggap kehadiran kue tete
sebagai penting adanya karena menghapus tabu akan penyebutan kata
“tete.” Mereka beranggapan bahwa tete adalah hal yang natural dan alami,
dan ada di tubuh semua manusia, jadi janganlah malu-malu menyebutnya.
Sedangkan orang-orang miskin kota senang dengan kehadiran kue tete
karena harganya yang murah tetapi rasanya enak, tidak kalah dengan
makanan-makanan mahal Eropa seperti
escargot, dan kaviar.
Sebaliknya, orang-orang yang
anti-tete, termasuk di antaranya
adalah para agamawan. Menurut mereka, gara-gara kue tete, anak-anak
kecil jadi pada ngomong jorok. Dan dikit-dikit minta tete.
“Pah, bagi duit dong.”
“Buat apa.”
“Buat beli tete.”
Astagfirullah...
Jadi, demi tercapainya perdamaian di muka bumi, dan supaya
selisih-paham di antara kedua kubu yang bertikai pendapat tidak semakin
melebar, menurut kami penting adanya untuk menghadirkan tulisan ini.
Marilah kita mulai ceritanya.
Alkisah, pada zaman dahulu kala di mana dunia sedang berada dalam
kekacauan, hiduplah seorang pemuda yang sangat miskin. Saking miskinnya,
pemuda tersebut bahkan tak punya teman. Padahal pemuda itu mempunyai
garasi yang berisikan mobil-mobil mewah, dan rumah yang sangat megah.
Lalu kenapa orang yang punya mobil mewah dan rumah megah bisa sampai
disebut miskin? Jawabannya adalah, dia miskin hati.
Aih sedap... Kismin hati...
Pemuda itu bernama Acep Junaedi, seorang blasteran Latin-Sunda. Ayahnya
berasal dari Venezuela, dan ibunya berasal dari Tasikmalaya. Junaedi
berparas tampan, tubuhnya tinggi tegap seperti tentara tapi bukan, dan
tubuhnya dihiasi
tattoo hingga sepanjang kedua lengannya.
Tampilannya dingin, dan tatapannya tajam, menimbulkan kesan angkuh bagi
orang yang belum terlalu kenal dengan dirinya.
Entah memang sifat dasarnya atau apa, tapi si Junaedi ini orangnya
sombongnya kebangetan. Sombongnya di atas rata-rata. Bahkan mungkin kalo
ada turnamen sombong, hampir bisa dipastikan dia yang akan menang,
empat kali berturut-turut. Dan kalau sombong diibaratkan dengan
olahraga, bisa dipastikan juga kalo Junaedi pasti masuk timnas, jadi
kapten, sekaligus MVP.
Pernah suatu hari ketika Junaedi sedang bersantai sendirian di
rumahnya, dia merasa haus, tapi dia males ngambil aer. Akhirnya, dia
langsung membuka lowongan pekerjaan di internet, untuk mencari orang
yang mau bekerja ngambilin aer buat dia. Yah namanya juga internet,
segala informasi cepat sekali tersiar. Akhirnya dapetlah dia orang yang
mau ngambilin aer. Dipekerjakanlah orang tersebut. Buat ngambil aer
sekali doang. Abis itu dipecat.
Luar biasa.
Karena kesombongannya itu, banyak orang yang membenci dan mengutuk dia.
Hingga akhirnya pada suatu malam ketika dia sedang tidur dia mendapati
dirinya mimpi buruk. Di mimpinya itu ada kakek-kakek tua berambut putih
dan berbaju putih-putih, kakek itu berkata kepada Junaedi,
“Bong bong bing.. bong bong bing.. orang sombong ngomongnya sumbing..”
Junaedi pun kaget, lalu terbangun. Dan ketika bangun dia mencoba untuk
ngomong sendiri, demi mengetahui apakah bicara dia akan seperti orang
sumbing atau tidak. Maka berkatalah dia kepada dirinya sendiri:
“Hes.. Hes.. Hatu Hua Higa...”
*JLEGEEEER!* Tiba-tiba Junaedi merasa dirinya tersambar petir di siang
bolong. Ternyata ucapan kakek tua di mimpinya menjadi kenyataan. Dia
yang bermaksud mengucap
tes tes satu dua tiga, malah terdengar menjadi
hes hes hatu hua higa.
Karena ngomongnya kayak orang sumbing itulah, Junaedi mulai menarik
diri dari lingkungan sosial. Dia merasa malu. Junaedi pun melakukan
puasa bicara, dia bersumpah kalau dia tidak akan bicara sampai
ngomongnya kembali ke keadaan semula, sampai dia bisa berbicara dengan
jelas.
Di tengah kesendiriannya karena menutup diri dari lingkungan luar,
Junaedi memilih untuk menghabiskan waktunya dengan hobi baru, yaitu:
memasak. Segala macam masakan dia coba buat sendiri, segala yang bisa
dimasukkan ke mulut dan mengenyangkan perut dia pelajari dengan
sungguh-sungguh sampai dia bisa membuatnya sendiri.
Saking sibuknya dengan dunia masak memasak, Junaedi pun semakin tidak
peduli dengan dunia luar, dia tenggelam dalam kesendiriannya. Hanya
kuali, panci, dan centong sayur yang menjadi teman sehari-hari. Waktu
pun berlalu, dan tak terasa sudah bertahun-tahun terlewatkan. Junaedi
pun semakin mahir memasak, tak ada masakan yang dibuatnya yang rasanya
tidak enak. Perlahan demi perlahan Junaedi berubah menjadi
maestro masak, hanya saja belum ada orang yang tahu.
Suatu hari ketika Junaedi sedang di
supermarket untuk membeli
bahan-bahan memasaknya, secara tidak sengaja dia bertabrakan dengan
seorang wanita yang sama-sama sedang belanja. Junaedi yang sedang puasa
bicara, hanya mendengus kesal sambil melihat ke arah si wanita tersebut.
Dan si wanita pun hanya bisa menundukkan kepalanya lalu memanggil
monster elang untuk menjemputnya.
Rupa-rupanya, sang wanita itu adalah seorang produser sebuah stasiun
televisi ternama di Indonesia –yang menyiarkan sinetron naga dan elang–,
dia bernama Mona, nama panjangnya adalah Monumen Nasional. Dan
kebetulan, si Mona ini ternyata sedang mencari
talent untuk sebuah program acara
reality show
masak. Dan sosok yang dia sedang cari, yang ada dalam bayangan dia
untuk mengisi peran tersebut, adalah sosok yang sama persis dengan si
Junaedi yang tidak sengaja dia tabrak tadi.
Maka Junaedi yang sedang berjalan menuju parkiran pun segera dihampiri oleh Mona.
“Bang, bang.. berhenti bang.. tunggu dulu bang..,” kata Mona setengah berteriak dan sambil berlari kecil mengejar Junaedi.
Dengan tenang dan keren, Junaedi menoleh sejenak lalu melihat ke arah Mona. Lalu meneruskan berjalan.
Mona tidak peduli, dia tetap menghampiri Junaedi.
“Bang, maaf bang sebelumnya, kenalin saya Mona, seorang produser televisi di Indonesia... Nah, saya...”.
Tiba-tiba Junaedi memotong ucapan Mona, lalu menaruh telunjuknya dengan perlahan di mulut Mona.
Mona pun berdiri kaku, dan terdiam tanpa bisa berkata apa-apa. Kemudian
dengan dingin Junaedi mengeluarkan kartu nama dari sakunya,
memberikannya kepada Mona. Lalu berlalu begitu saja. Tanpa sepatah kata
keluar dari mulutnya.
Begitulah awal mula perkenalan mereka. Dan siapa sangka, dari pertemuan
singkat itu akan berlanjut menuju terciptanya sejarah baru yang diakui
dunia luas.
Singkat kata, berbekal informasi yang dia dapatkan dari kartu nama.
Mona pun mulai berhubungan dengan Junaedi, semua dilakukan via email,
tanpa ada pertemuan dan tanpa ada obrolan sama sekali di antara
keduanya.
Dan singkat cerita, Junaedi pun menyetujui tawaran dari Mona untuk menjadi
talent utama acara masak yang bernama “Master Cep.” Mona pun membuatkan nama panggung untuk Junaedi pakai selama acara
reality show
masak tersebut berlangsung. Karena Mona beranggapan bahwa nama Acep
Junaedi terlalu kampungan untuk dipakai, maka Mona pun mengubah nama
Acep Junaedi menjadi Cep Juna.
Rupa-rupanya, Master Cep berhasil menjadi acara yang sangat digemari
seluruh pemirsa di Indonesia. Dan seiring dengan tingginya rating Master
Cep, maka nama Cep Juna pun ikut melambung. Dia menjadi sangat terkenal
di mana-mana, terutama bagi kaum hawa, yang sangat mengidolai sosok Cep
Juna karena ketampanan dan sikap dinginnya yang tidak pernah
mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya.
Seperti pepatah Jawa yang berbunyi
witing tresno jalaran soko kulino, yang
artinya cinta datang karena terbiasa. Maka seiring frekuensi pertemuan
dan kedekatan mereka berdua, Mona pun lama-lama jatuh hati juga kepada
Junaedi. Hampir setiap hari Mona bermain ke rumah Junaedi.
Junaedi pun menyambut uluran Mona, mereka berdua pun semakin lama
semakin dekat. Setiap Mona datang, Junaedi selalu membuatkan masakan
enak untuknya, dan bermacam kreasi makanan baru pun terus muncul karena
terinspirasi oleh cinta Mona. Walaupun Mona sebenernya agak dongkol,
karena Junaedi masih saja melakukan puasa bicara, padahal Mona sudah
berkali-kali berkata bahwa dia menerima Junaedi apa adanya.
Suatu hari seperti biasa Mona berniat untuk menuju rumah Junaedi, sekalian menengok
progress karya makanan baru yang konon sedang dipersiapkan oleh Junaedi untuk acara final Master Cep.
Sesampainya di sana, Mona menemui Junaedi sedang bermalasan di depan
TV. Dan sepertinya dia sedang tidak mau diganggu. Akhirnya Mona pergi ke
dapur, melihat-lihat kali aja ada yang bisa dimakan. Lalu Mona pun
menemukan sesosok makanan berwarna hijau di atas meja makan, Mona
bingung, soalnya bentuk makanan itu buruk rupa dan sangat jelek. Tidak
memancing selera untuk memakannya. Dan yang paling mengherankan, tidak
pernah sebelumnya Junaedi membuat makanan yang bentuknya jelek begini.
Namun karena ya namanya juga cinta, dan karena Mona sudah yakin dengan
kemampuan masak Junaedi, maka Mona pun percaya-percaya aja. Diambilnya
makanan berwarna hijau itu untuk dimasukkan ke dalam mulutnya. Dan
betapa terkejutnya Mona, ternyata makanan buruk rupa itu rasanya luar
biasa enaknya.
Mona menganggap itu adalah makanan paling enak yang pernah dicobanya
selama dia hidup, matanya pun sampai berkaca-kaca dan menitikkan air
mata karena bahagia.
Saking senangnya,
Mona sampai lupa kalau Junaedi sang kekasih hati punya sumpah puasa
bicara. Mona pun berteriak-teriak kegirangan.
“Sayaaang... sayaaaang.. ini makanan apaaaa? Kok enak banget ya ampuuuun....”
Junaedi tetap bergeming.
“Sayaaang.. ya ampuun ini enak banget lho asli deh.. apaan sih iniiii?”
Mona terus nyerocos tak henti. Junaedi tetap diam.
“Sayaaang.. ih diem aja deh ini enak banget pasti kalo dijual laku keras, sekeras batik, batik keras.”
Dan terus menerus bertubi-tubi cerocosan keluar dari mulut Mona, tak
henti-henti. Hingga akhirnya kesabaran Junaedi habis. Maka untuk kali
pertama sejak bertahun-tahun lamanya keluar lah kata-kata dari mulut
dia.
“Hawel hu! Hulang hih! Hue hete!”
Junaedi berteriak, berkata dengan suara sengaunya. Kesal karena Mona
bawel, lalu menyuruh dia pulang, karena sebenernya Junaedi lagi bete.
Eh dasar si Mona, namanya juga lagi seneng, udah gitu emang gak pernah
denger si Junaedi ngomong sebelumnya. Yang dia denger cuma kalimat
terakhir doang.
“Oh, kue tete.. Hihihi lucu banget namanya.. Tapi emang sih bentuknya mirip tete..,” . Kata si Mona menanggapi ucapan Junaedi.
Junaedi yang emang lagi kesel cuma bisa berpaling sambil setengah teriak sebel.
“Haaah! Herserah!”
Lalu mereka berdua hidup selamanya dan bahagia.
-TAMAT-
Begitulah sejarah awal mula terciptanya kue tete. Berawal dari kisah
yang sangat mengharukan antara dua insan yang saling salah paham. Sang
lelaki yang bermaksud menyampaikan perasaannya karena dia sedang bete,
serta sang perempuan yang salah mendengar dan mengartikan kalau yang
sang lelaki bilang adalah kue tete.
Jadi, pesan moral dari kisah ini adalah. Jalinlah komunikasi yang baik
dengan pasangan anda, agar supaya tidak jadi salah paham. Sehingga tidak
ada lagi tete-tete lainnya.
Sekian, dilarang protes.